Bagaimana pacaran menurut islam (part 2)

Bagaimana pandangan Ibnu Qoyyim tentang hal ini ? Kata Ibnu Qoyyim, " Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta. Malah, cinta diantara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan. Karena bila keduanya telah merasakan kenikmatan dan cita rasa cinta, tidak boleh tidak akan timbul keinginan lain yang tidak diperoleh sebelumnya. "

" Bohong !" Itulah pandangan mereka guna membela hawa nafsunya yang dimurkai Allah, yakni berpacaran. Karena mereka telah tersosialisasi dengan keadaan seperti ini, seolah-olah mengharuskan adanya pacaran dengan bercintaan secara haram. Bahkan lebih dari itu mereka berani mengikrarkan, bahwa cinta yang dilahirkan bersama dengan sang pacar adalah cinta suci dan bukan cinta birahi. Hal ini didengung-dengungkan, dipublikasikan dalam segala bentuk media, entah cetak maupun elektronika. Entah yang legal maupun ilegal. Padahal yang diistilahkan kesucian dalam islam adalah bukanlah semata-mata kepemudaan, kegadisan dan selaput dara saja. Lebih dari itu, kesucian mata, telinga, hidung, tangan dan sekujur anggota tubuh, bahkan kesucian hati wajib dijaga. Zinanya mata adalah berpandangan dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya, zinanya hati adalah membayangkan dan menghayal, zinannya tangan adalah menyentuh tubuh wanita yang bukan muhrim. Dan pacaran adalah refleksi hubungan intim, dan merupakan ring empuk untuk memberi kesempatan terjadinya segala macam zina ini.

Rasulullah bersabda,

" Telah tertulis atas anak adam nasibnya dari hal zina. Akan bertemu dalam hidupnya, tak dapat tidak. Zinanya mata adalah melihat, zina telinga adalah mendengar, zina lidah adalah berkata, zina tangan adalah menyentuh, zina kaki adalah berjalan, zina hati adalah ingin dan berangan-angan. Dibenarkan hal ini oleh kelaminnya atau didustakannya."

Jika kita sejenak mau introspeksi diri dan mengkaji hadist ini dengan kepala dingin maka dapat dipastikan bahwa segala macam bentuk zina terjadi karena motivasi yang tinggi dari rasa tak pernah puas sebagai watak khas makhluk yang bernama manusia. Dan kapan saja, diman saja, perasaan tak pernah puas itu selalu memegang peranan. Seperti halnya dalam berpacaran ini. Pacaran adalah sebuah proses ketidakpuasan yang terus berlanjut untuk sebuah pembuktian cinta. Kita lihat secara umum tahapan dalam pacaran.

  1. Perjumpaan pertama, yaitu perjumpan keduanya yang belum saling kenal. Kemudian berkenalan baik melalui perantara teman atau inisiatif sendiri. hasrat ingin berkenalan ini begitu menggebu karena dirasakan ada sifat2 yang menjadi sebab keduanya merasakan getaran yang lain dalam dada. Hubungan pun berlanjut, penilaian terhadap sang kenalan terasa begitu manis, pertama ia nilai dengan daya tarik fisik dan penampilannya, mata sebagai juri. Senyum pun mengiringi, kemudian tertegun akhirnya , akhirnya jantung berdebar, dan hati rindu menggelora. Pertanyaan yang timbul kemudaian adalah kata-kata pujian, kemudian ia tuliskan dalam buku diary, "Akankah ia mencintaiku." Bila bertemu ia akan pandang berlama-lama, ia akan puaskan rasa rindu dalam dadanya.

  2. Pengungkapan diri dan pertalian, disinilah tahap ucapan I Love You, "Aku mencintaimu". Si Juliet akan sebagai penjual akan menawarkan cintanya dengan rasa malu, dan sang Romeo akan membelinya dengan, "I LOve You". Jika Juliet diam dengan tersipu dan tertunduk malu, maka sang Romeo pun telah cukup mengerti dengan sikap itu. Kesepakatan pun dibuat, ada ijin sang romeo untuk datang kerumah, "Apel Mingguan atau Wakuncar ". Kapan pun sang Romeo pengin datang maka pintu pun terbuka dan di sinilah mereka akan menumpahkan perasaan masing-masing, persoalanmu menjadi persoalannya, sedihmu menjadi sedihnya, sukamu menjadi riangnya, hatimu menjadi hatinya, bahkan jiwamu menjadi hidupnya. Sepakat pengin terus bersama, berjanji sehidup semati, berjanji sampai rumah tangga. Asyik dan syahdu.

  3. Pembuktian, inilah sebuah pengungkapan diri, rasa cinta yang menggelora pada sang kekasih seakan tak mampu untuk menolak ajakan sang kekasih. " buktikan cintamu sayangku". Hal ini menjadikan perasaan masing-masing saling ketergantungan untuk memenuhi kebutuhan diantara keduanya. Bila sudah seperti ini ajakan ciuman bahkan bersenggama pun sulit untuk ditolak. Na'udzubillah

Begitulah akhirnya mereka berdua telah terjerumus dalam nafsu syahwat, tali-tali iblis telah mengikat. Mereka jadi terbiasa jalan berdua bergandengan tangan, canda gurau dengan cubit sayang, senyum tawa sambil bergelayutan, dan cium sayang melepas abang. Kunjungan kesatu, kedua, ketiga, keseratus, keseribu, dan yang tinggal sekarang adalah suasana usang, bosan, dan menjenuhkan percintaan . Segalanya telah diberikan sang juliet, Juliet pun menuntut sang Romeo bertanggung jawab ? Ternyata sang romeo pergi tanpa pesan walaupun datang dengan kesan. Sungguh malang nasib Juliet.

Wahai para Muslimah sadarlah akan lamunan kalian , bayang-bayang cinta yang suci, bukanlah dengan pacaran , cobalah pikirkan buat kamu muslimah yang masih bergelimang dengan pacaran atau kalian wahai pemuda yang suka gonta-ganti pacar. Cobalah jawab dengan hati jujur pertanyaan-pertanyaan berikut dan renungkan ! Kami tanya :

  1. Apakah kamu dapat berlaku jujur tentang hal adegan yang pernah kamu kamu lakukan waktu pacaran dengan si A,B,C s/d Z kepada calon pasangan yang akan menjadi istri atau suami kamu yang sesungguhnya ? Kalau tidak kenapa kamu berani mengatakan, pacaran merupakan suatu bentuk pengenalan kepribadian antara dua insan yang saling jatuh cinta dengan dilandasi sikap saling percaya ? Sedangkan kenapa kepada calon pasangan hidup kamu yang sesungguhnya kamu berdusta ? Bukankah sikap keterbukaan merupakan salah satu kunci terbinanya keluarga sakinah?

  2. Mengapa kamu pusing tujuh keliling untuk memutuskan seseorang menjadi pendamping hidupmu ? Apakah kamu takut mendapat pendamping yang setelah sekian kali pindah tangan ? " Aku ingin calon pendamping yang baik-baik" Kamu katakan seperti ini tapi mengapa kamu begitu gemar pacaran, hingga melahirkan korban baru yang siap pindah tangan dengan kondisi " Aku bukan calon pendamping yang baik" , bekas dari tanganmu, sungguh bekas tanganmu ?

  3. Jika kamu disuruh memilih diantara dua calon pasangan hidup kamu antara yang satu pernah pacaran dan yang satu begitu teguh memegang syari'at agama, yang mana yang akan kamu pilih ? Tentu yang teguh dalam memegangi agama, ya Khan ? Tapi kenapa kamu berpacaran dengan yang lain sementara kamu menginginkan pendamping yang bersih ?

  4. Bagaimana perasaan kamu jika mengetahui istri/ suami kamu sekarang punya nostalgia berpacaran yang sampai terjadi tidak suci lagi ? Tentu kecewa bukan kepalang. Tetapi mengapa sekarang kamu melakukan itu kepada orang yang itu akan menjadi pendamping hidup orang lain ?

  5. Kalaupun istri/suami kamu sekarang mau membuka mulut tentang nostalgia berpacaran sebelum menikah dengan kamu. Apakah kamu percaya jika dia bilang kala itu kami berdua hanya bicara biasa-biasa saja dan tidak saling bersentuhan tangan ? Kalau tidak kenapa ketika pacaran bersentuhan tangan dan berciuman kamu bilang sebagai bumbu penyedap ?

  6. Jika kamu nantinya sudah punya anak apakah rela punya anak yang telah ternoda ? Kalau tidak kenapa kamu tega menyeret Ortu kamu ke dalam neraka Api Allah ? Kamu tuntut mereka di hadapan Allah karena tidak melarang kamu berpacaran dan tidak menganjurkan kamu untuk segera menikah.

Karena itu wahai muslimah dan kalian para pemuda kembalilah ke fitrah semula. Fitrah yang telah menjadi sunattullah, tidak satupun yang lari daripadanya melainkan akan binasa dan hancur.

Inti dari pembahasan ini adalah "PACARAN ITU HARAM"

Back...

Sumber : Ngaji Salaf 2000

Bagaimana pacaran menurut islam (part 1)

Pada pembahasan sesion ini kita akan mengangkat masalah pacaran. Pacaran yang sudah merupakan fenomena mengejala dan bahkan sudah seperti jamur dimusim hujan menjadi sebuah ajang idola bagi remaja . Cinta memang sebuah anugerah, cinta hadir untuk memaniskan hidup di dunia apalagi rasa cinta kepada lawan jenis, sang pujaan hati atau sang kekeasih hati menjadikan cinta itu begitu terasa manis bahkan kalo orang bilang bila orang udah cita maka empedu pun terasa seperti gula. Begitulah cinta, sungguh hal yang telah banyak menjerumuskan kaum muslimin ke dalam jurang kenistaan manakala tidak berada dalam jalur rel yang benar. Mereka sudah tidak tahu lagi mana cinta yang dibolehkan dan mana yang dilarang.

Kehidupan seorang muslim atau muslimah tanpa pacaran adalah hambar, begitulah kata mereka. Kalau dikatakan nggak usah kamu pacaran maka serentak ia akan mengatakan " Lha kalo nggak pacaran, gimana kita bisa ngenal calon pendamping kita ?". kalo dikatakan pacaran itu haram akan dikatakan, " pacaran yang gimana dulu.". Beginilah keadaan kaum muda sekarang, racun syubhat, dan racun membela hawa nafsu sudah menjadi sebuah hakim akan hukum halal-haram, boleh dan tidak. Tragis memang kondisi kita ini, terutama yang muslimah. Mereka para muslimah kebanyakan berlomba-lomba untuk mendapatkan sang pacar atau sang kekasih, apa sebabnya, " Aku takut nggak dapat jodoh ". Muslimah banyak ketakutannya tentang calon pendamping, karena mereka tahu bahwa perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 1 : 5. Tapi apakah jalan pacaran sebagai penyelesaian ? Jawabnya Tidak. Bagaimana bisa, kita ikuti selengkapnya pembahasan ini sebagai berikut, ( diambil dari buku Pacaran dalam Kacamata Islam karya Abdurrahman al-Mukaffi)

Dikatakan beliau bahwa pacaran dikategorikan sebagai nafsu syahwat yang tidak dirahmati oleh Allah, karena ketiga rukun yang menumbuhkan rasa cinta menyatu di luar perkawinan. Hal ini dilakukan dengan dalih sebagai suatu penjajakan guna mencari partner yang ideal dan serasi bagi masing-masing pihak. Tapi dalam kenyataannya masa penjajakan ini tidak lebiih dimanfaatkan sebagai pengumbaran nafsu syahwat semata-mata, bukan bertujuan secepatnya untuk melaksanakan perkawinan

Hal ini tercermin dari anggapan mereka bahwa merasakan ideal dalam memilih partner jika ada sifat-sifat sebagai berikut :
  1. Mereka merasa beruntung sekali jika selalu dapat berduaan, dan berpisah dalam waktu pendek saja tidak tahan rasanya. Dan keduanya merasa satu sama lain saling memerlukan.

  2. Mereka merasa cocok satu sama lainnya. Karena segala permasalahan yang sedang dihadapi dan dirasakan menjadi masalah yang perlu dicari pemecahannya bersama. Hal ini dimungkinkan karena mereka satu dengan lainnya merasa dapat mencapai saling pengertian dalam seluruh aspek kehidupannya.

  3. Mereka satu sama lain senantiasa berusaha sekuat tenaga untuk menuruti kemauan sang kekasih. Hal ini dimungkinkan karena perasaan cinta yang telah tumbuh secra sempurna dengan pertautan yang kuat.
Tapi tanpa disadari, pacaran itu sendiri telah melambungkan perasaan cinta maki tinggi. Di sisi lain pacaran menjurus pada hubungan intim yang merusak cinta, melemahkan dan meruntuhkannya. Karena pada hakekatnya hubungan intim dalam pacaran adalah tujuan yang hendak dicapai dalam pacaran. Oleh karena itu orang yang pacaran selalu mendambakan kesyahduan. Dengan tercapainya tujuan tersebut kemungkinan tuntutannya pun mereda dan gejolak cintanya melemah. Hingga kebencian menghantui si bunga yang telah layu, karena si kumbang belang telah menghisap kehormatan secara haram.

Tak ubahnya seperti apa yang dinginkan oleh seorang pemuda untuk memadu cinta dengan dara jelita kembang desanya. dalam pandangannya sang dara tampak begitu sempurna. Higga kala itu pikiran pun hanyut, malam terkenang, siang terbayang, maka tak enak, tidur pun tak nyenyak, selalu terbayang si dia yang tersayang. Hingga tunas kerinduan menjamur menggapai tangan, menggelitik sambil berbisik. Bisikan nan gemulai, tawa-tawa kecil kian membelai, canda-canda hingga terkulai, karena asyik, cinta pun telah menggulai. Menggulai awan yang mengawang, merobek cinta yang tinggi membintang, hingga luka mengubur cinta.....

Next...

Sumber : Ngaji Salaf 2000

Etika dalam Berpakaian & Berhias

  1. Disunnatkan memakai pakaian baru, bagus dan bersih.

  2. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda kepada salah seorang shahabatnya di saat beliau melihatnya mengenakan pakaian jelek :”Apabila Allah mengaruniakan kepadamu harta, maka tampakkanlah bekas nikmat dan kemurahan-Nya itu pada dirimu. "(HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).

  3. Pakaian harus menutup aurat, yaitu longgar tidak membentuk lekuk tubuh dan tebal tidak memperlihatkan apa yang ada di baliknya.

  4. Pakaian laki-laki tidak boleh menyerupai pakaian perempuan atau sebaliknya. Karena hadits yang bersumber dari Ibnu Abbas Radhiallaahu 'anhu ia menuturkan: “Rasulullah melaknat (mengutuk) kaum laki-laki yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum pria.” (HR. Al-Bukhari).

    Tasyabbuh atau penyerupaan itu bisa dalam bentuk pakaian ataupun lainnya.

  5. Pakaian tidak merupakan pamer pakaian (untuk ketenaran), karena Rasulullah Radhiallaahu 'anhu telah bersabda: “Barang siapa yang mengenakan pakaian ketenaran di dunia niscaya Allah akan mengenakan padanya pakaian kehinaan di hari Kiamat.” ( HR. Ahmad, dan dinilai hasan oleh Al-Albani).

  6. Pakaian tidak boleh ada gambar makhluk yang bernyawa atau gambar salib, karena hadits yang bersumber dari Aisyah Radhiallaahu 'anha menyatakan bahwasanya beliau berkata: “Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak pernah membiarkan pakaian yang ada gambar salibnya melainkan Nabi menghapusnya”. (HR. Al-Bukhari dan Ahmad).

  7. Laki-laki tidak boleh memakai emas dan kain sutera kecuali dalam keadaan terpaksa. Karena hadits yang bersumber dari Ali Radhiallaahu 'anhu mengatakan: “Sesungguhnya Nabi Allah Subhaanahu wa Ta'ala pernah membawa kain sutera di tangan kanannya dan emas di tangan kirinya, lalu beliau bersabda: Sesungguhnya dua jenis benda ini haram bagi kaum lelaki dariumatku”. (HR. Abu Daud dan dinilai shahih oleh Al-Albani).

  8. Pakaian laki-laki tidak boleh panjang melebihi kedua mata kaki. Karena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda : “Apa yang berada di bawah kedua mata kaki dari kain itu di dalam neraka” (HR. Al-Bukhari).

    Adapun perempuan, maka seharusnya pakaiannya menu-tup seluruh badannya, termasuk kedua kakinya.

    Adalah haram hukumnya orang yang menyeret (meng-gusur) pakaiannya karena sombong dan bangga diri. Sebab ada hadits yang menyatakan : “Allah tidak akan memperhatikan di hari Kiamat kelak kepada orang yang menyeret kainnya karena sombong”. (Muttafaq’alaih).

  9. Disunnatkan mendahulukan bagian yang kanan di dalam berpakaian atau lainnya. Aisyah Radhiallaahu 'anha di dalam haditsnya berkata: “Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam suka bertayammun (memulai dengan yang kanan) di dalam segala perihalnya, ketika memakai sandal, menyisir rambut dan bersuci’." (Muttafaq’-alaih).

  10. Disunnatkan kepada orang yang mengenakan pakaian baru membaca :

    اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي كَسَانِي هَذَا الثَّوْبَ وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلاَ قُوَّةٍ

    Alhamdulillaahilladzii hadzaattauba wa razaqaniihi min ghairi haulin minnii wa laa qawwatin

    Segala puji bagi Allah yang telah menutupi aku dengan pakaian ini dan mengaruniakannya kepada-ku tanpa daya dan kekuatan dariku”. (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).

  11. Disunnatkan memakai pakaian berwarna putih, katrena hadits mengatakan: “Pakaialah yang berwarna putih dari pakaianmu, karena yang putih itu adalah yang terbaik dari pakaian kamu...” (HR. Ahmad dan dinilah shahih oleh Albani).

  12. Disunnatkan menggunakan farfum bagi laki-laki dan perempuan, kecuali bila keduanya dalam keadaan berihram untuk haji ataupun umrah, atau jika perempuan itu sedang berihdad (berkabung) atas kematian suaminya, atau jika ia berada di suatu tempat yang ada laki-laki asing (bukan mahramnya), karena larangannya shahih.

  13. Haram bagi perempuan memasang tato, menipiskan bulu alis, memotong gigi supaya cantik dan menyambung rambut (bersanggul). Karena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam di dalam haditsnya mengatakan: “Allah melaknat (mengutuk) wanita pemasang tato dan yang minta ditato, wanita yang menipiskan bulu alisnya dan yang meminta ditipiskan dan wanita yang meruncingkan giginya supaya kelihatan cantik, (mereka) mengubah ciptaan Allah”. Dan di dalam riwayat Imam Al-Bukhari disebutkan: “Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya”. (Muttafaq’alaih).

Etika Berkomunikasi Lewat Telepon

  1. Ceklah dengan baik nomor telepon yang akan anda hubungi sebelum anda menelpon agar anda tidak mengganggu orang yang sedang tidur atau mengganggu orang yang sedang sakit atau merisaukan orang lain.

  2. Pilihlah waktu yang tepat untuk berhubungan via telepon, karena manusia mempunyai kesibukan dan keperluan, dan mereka juga mempunyai waktu tidur dan istirahat, waktu makan dan bekerja.

  3. Jangan memperpanjang pembicaraan tanpa alasan, karena khawatir orang yang sedang dihubungi itu sedang mem-punyai pekerjaan penting atau mempunyai janji dengan orang lain.

  4. Hendaknya wanita tidak memperindah suara di saat ber-bicara (via telpon) dan tidak berbicara melantur dengan laki-laki. Allah berfirman yang artinya: “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik”. (Al-Ahzab: 32).

  5. Maka hendaknya wanita berhati-hati, jangan berbicara diluar kebiasaan dan tidak melantur berbicara dengan lawan jenisnya via telepon, apa lagi memperpanjang pembicaraan, memperindah suara, memperlembut dan lain sebagainya.

  6. Hendaknya penelpon memulai pembicaraannya dengan ucapan Assalamu`alaikum, karena dia adalah orang yang datang, maka dari itu ia harus memulai pembicaraannya dengan salam dan juga menutupnya dengan salam.

  7. Tidak memakai telpon orang lain kecuali seizin pemiliknya, dan itupun bila terpaksa.

  8. Tidak merekam pembicaraan lawan bicara kecuali seizin darinya, apapun bentuk pembicaraannya. Karena hal tersebut merupakan tindakan pengkhianatan dan mengungkap rahasia orang lain, dan inilah tipu muslihat. Dan apabila rekaman itu kamu sebarluaskan maka itu berarti lebih fatal lagi dan merupakan penodaan terhadap amanah. Dan termasuk di dalam hal ini juga adalah merekam pembicaraan orang lain dan apa yang terjadi di antara mereka. Maka, ini haram hukumnya, tidak boleh dikerjakan!

  9. Tidak menggunakan telepon untuk keperluan yang negatif, karena telepon pada hakikatnya adalah nikmat dari Allah yang Dia berikan kepada kita untuk kita gunakan demi memenuhi keperluan kita. Maka tidak selayaknya jika kita menjadikannya sebagai bencana, menggunakannya untuk mencari-cari kejelekan dan kesalahan orang lain dan mencemari kehormatan mereka, dan menyeret kaum wanita ke jurang kenistaan. Ini haram hukumnya, dan pelakunya layak dihukum.

Etika Buang Hajat

  1. Segera membuang hajat.
    Apabila seseorang merasa akan buang air maka hendaknya bersegera melakukannya, karena hal tersebut berguna bagi agamanya dan bagi kesehatan jasmani.

  2. Menjauh dari pandangan manusia di saat buang air (hajat). berdasarkan hadits yang bersumber dari al-Mughirah bin Syu`bah Radiyallaahu 'anhu disebutkan “Bahwasanya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila pergi untuk buang air (hajat) maka beliau menjauh”. (Diriwayat-kan oleh empat Imam dan dinilai shahih oleh Al-Albani).

  3. Menghindari tiga tempat terlarang, yaitu aliran air, jalan-jalan manusia dan tempat berteduh mereka. Sebab ada hadits dari Mu`adz bin Jabal Radhiallaahu 'anhu yang menyatakan demikian.

  4. Tidak mengangkat pakaian sehingga sudah dekat ke tanah, yang demikian itu supaya aurat tidak kelihatan. Di dalam hadits yang bersumber dari Anas Radhiallaahu 'anhu ia menuturkan: “Biasanya apabila Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam hendak membuang hajatnya tidak mengangkat (meninggikan) kainnya sehingga sudah dekat ke tanah." (HR. Abu Daud dan At-Turmudzi, dinilai shahih oleh Albani).

  5. Tidak membawa sesuatu yang mengandung penyebutan Allah kecuali karena terpaksa. Karena tempat buang air (WC dan yang serupa) merupakan tempat kotoran dan hal-hal yang najis, dan di situ setan berkumpul dan demi untuk memelihara nama Allah dari penghinaan dan tindakan meremehkannya.

  6. Dilarang menghadap atau membelakangi kiblat, berdasar-kan hadits yang bersumber dari Abi Ayyub Al-Anshari Shallallaahu 'alaihi wa sallam menyebutkan bahwasanya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: “Apabila kamu telah tiba di tempat buang air, maka janganlah kamu menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya, apakah itu untuk buang air kecil ataupun air besar. Akan tetapi menghadaplah ke arah timur atau ke arah barat”. (Muttafaq’alaih). Ketentuan di atas berlaku apabila di ruang terbuka saja. Adapun jika di dalam ruang (WC) atau adanya pelindung / penghalang yang membatasi antara si pembuang hajat dengan kiblat, maka boleh menghadap ke arah kiblat.

  7. Dilarang kencing di air yang tergenang (tidak mengalir), karena hadits yang bersumber dari Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Jangan sekali-kali seorang diantara kamu buang air kecil di air yang menggenang yang tidak mengalir kemudian ia mandi di situ”.(Muttafaq’alaih).

  8. Makruh mencuci kotoran dengan tangan kanan, karena hadits yang bersumber dari Abi Qatadah Radhiallaahu 'anhu menyebutkan bahwasanya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Jangan sekali-kali seorang diantara kamu memegang dzakar (kemaluan)nya dengan tangan kanannya di saat ia kencing, dan jangan pula bersuci dari buang air dengan tangan kanannya.” (Muttafaq’alaih).

  9. Dianjurkan kencing dalam keadaan duduk, tetapi boleh jika sambil berdiri. Pada dasarnya buang air kecil itu di lakukan sambil duduk, berdasarkan hadits `Aisyah Radhiallaahu 'anha yang berkata:" Siapa yang telah memberitakan kepada kamu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam kencing sambil berdiri, maka jangan kamu percaya, sebab Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak pernah kencing kecuali sambil duduk." (HR. An-Nasa`i dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
    Sekalipun demikian seseorang dibolehkan kencing sambil berdiri dengan syarat badan dan pakaiannya aman dari percikan air kencingnya dan aman dari pandangan orang lain kepadanya. Hal itu karena ada hadits yang bersumber dari Hudzaifah, ia berkata: “Aku pernah bersama Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam (di suatu perjalanan) dan ketika sampai di tempat pembuangan sampah suatu kaum beliau buang air kecil sambil berdiri, maka akupun menjauh daripadanya. Maka beliau bersabda: “Mendekatlah kemari”. Maka aku mendekati beliau hingga aku berdiri di sisi kedua mata kakinya. Lalu beliau berwudhu dan mengusap kedua khuf-nya.” (Muttafaq alaih).

  10. Makruh berbicara di saat buang hajat kecuali darurat. berdasarkan hadits yang bersumber dari Ibnu Umar Shallallaahu 'alaihi wa sallam diriwayatkan: “Bahwa sesungguhnya ada seorang lelaki lewat, sedangkan Rasulullah saw. sedang buang air kecil. Lalu orang itu memberi salam (kepada Nabi), namun beliau tidak menjawabnya".(HR. Muslim).

  11. Makruh bersuci (istijmar) dengan mengunakan tulang dan kotoran hewan, dan disunnatkan bersuci dengan jumlah ganjil. Di dalam hadits yang bersumber dari Salman Al-Farisi Radhiallaahu 'anhu disebutkan bahwasanya ia berkata: “Kami dilarang oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam beristinja (bersuci) dengan menggunakan kurang dari tiga biji batu, atau beristinja dengan menggunakan kotoran hewan atau tulang". (HR. Muslim).
    Dan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam juga bersabda: “Barangsiapa yang bersuci menggunakan batu (istijmar), maka hendaklah diganjil-kan.

  12. Disunnatkan masuk ke WC dengan mendahulukan kaki kiri dan keluar dengan kaki kanan berbarengan dengan dzikirnya masing-masing. Dari Anas bin Malik Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwa ia berkata: “Adalah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila masuk ke WC mengucapkan :

    اَللَّهُمَّ إنِّي أعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ (متفق عبيه )

    Allaahumma inni a’udzubika minal khubusi wal khabaaits"
    Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari pada syetan jantan dan setan betina”.
    Dan apabila keluar, mendahulukan kaki kanan sambil mengucapkan : غُفْرَانَكَ Gufraanaka (ampunan-Mu ya Allah).

  13. Mencuci kedua tangan sesudah menunaikan hajat. Di dalam hadis yang bersumber dari Abu Hurairah ra. diriwayatkan bahwasanya “Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam menunaikan hajatnya (buang air) kemudian bersuci dari air yang berada pada sebejana kecil, lalu menggosokkan tangannya ke tanah." (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).

Etika di Tempat Berkumpul/Majlis

  1. Hendaknya memberi salam kepada orang-orang yang di dalam majlis di saat masuk dan keluar dari majlis tersebut. Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu telah meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: “Apabila salah seorang kamu sampai di suatu majlis, maka hendaklah memberi salam, lalu jika dilihat layak baginya duduk maka duduklah ia. Kemudian jika bangkit (akan keluar) dari majlis hendaklah memberi salam pula. Bukanlah yang pertama lebih berhak daripada yang selanjutnya." (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, dinilai shahih oleh Al-Albani).

  2. Hendaknya duduk di tempat yang masih tersisa. Jabir bin Samurah telah menuturkan: Adalah kami, apabila kami datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam maka masing-masing kami duduk di tempat yang masih tersedia di majlis. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).

  3. Jangan sampai memindahkan orang lain dari tempat duduknya kemudian mendudukinya, akan tetapi berlapang-lapanglah di dalam majlis. Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhuma telah meriwayatkan bahwa sesungguhnya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: “Seseorang tidak boleh memindahkan orang lain dari tempat duduknya, lalu ia menggantikannya, akan tetapi berlapanglah dan perluaslah.” (Muttafaq’alaih).

  4. Tidak duduk di tengah-tengah halaqah (lingkaran majlis).

  5. Tidak duduk di antara dua orang yang sedang duduk kecuali seizin mereka. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal bagi seseorang memisah di antara dua orang kecuali seizin keduanya”. (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani).

  6. Tidak boleh menempati tempat duduk orang lain yang keluar sementara waktu untuk suatu keperluan. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seorang di antara kamu bangkit (keluar) dari tempat duduknya, kemudian kembali, maka ia lebih berhak menempatinya”. (HR.Muslim)

  7. Tidak berbisik berduaan dengan meninggalkan orang ketiga. Ibnu Mas`ud Radhiallaahu 'anhu menuturkan : Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: “Apabila kamu tiga orang, maka dua orang tidak boleh berbisik-bisik tanpa melibatkan yang ketiga sehingga kalian bercampur baur dengan orang banyak, karena hal tersebut dapat membuatnya sedih”. (Muttafaq’alaih).

  8. Para anggota majlis hendaknya tidak banyak tertawa. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:”Janganlah kamu memperbanyak tawa, karena banyak tawa itu mematikan hati”. (HR. Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al-Albani).

  9. Hendaknya setiap anggota majlis menjaga pembicaraan yang terjadi di dalam forum (majlis). Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seseorang membicarakan suatu pembicaraan kemudian ia menoleh, maka itu adalah amanat”. (HR. At-Tirmidzi, dinilai hasan oleh Al-Albani).

  10. Anggota majlis hendaknya tidak melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan perasaan orang lain, seperti menguap atau membuang ingus atau bersendawa di dalam majlis.

  11. Tidak melakukan perbuatan memata-matai. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu mencari-cari atau memata-matai orang”. (Muttafaq’alaih).

  12. Disunnatkan menutup majlis dengan do`a Kaffarat majlis, karena Rasulullah telah bersabda: “Barang siapa yang duduk di dalam suatu majlis dan di majlis itu terjadi banyak gaduh, kemudian sebelum bubar dari majlis itu ia membaca :

    سُبْحَانَكَ اَللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

    Subhaanakallahumma wabihamdika, asyhadu anlaa ilaaha illaa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaika. “Maha Suci Engkau ya Allah, dengan segala puji bagi-Mu; aku bersaksi bahwasanya tiada yang berhak disembah selain engkau; aku memohon ampunanmu dan aku bertobat kepada-Mu”, melainkan Allah mengampuni apa yang terjadi di majlis itu baginya”. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al- Albani).

Etika Jenazah dan Ta'ziyah

  1. Segera merawat janazah dan mengebumikannya untuk meringankan beban keluarganya dan sebagai rasa belas kasih terhadap mereka. Abu Hurairah. Radhiallaahu anhu di dalam haditsnya menyebutkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda: “Segeralah (di dalam mengurus) jenazah, sebab jika amal-amalnya shalih, maka kebaikanlah yang kamu berikan kepadanya; dan jika sebaliknya, maka keburukan-lah yang kamu lepaskan dari pundak kamu”. (Muttafaq alaih).

  2. Tidak menangis dengan suara keras, tidak meratapinya dan tidak merobek-robek baju. Karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda: “Bukan golongan kami orang yang memukul-mukul pipinya dan merobek-robek bajunya, dan menyerukan kepada seruan jahiliyah”. (HR. Al-Bukhari).

  3. Disunatkan mengantar janazah hingga dikubur. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersada: “Barangsiapa yang menghadiri janazah hingga menshalatkannya, maka baginya (pahala) sebesar qirath; dan barangsiapa yang menghadirinya hingga dikuburkan maka baginya dua qirath”. Nabi ditanya: “Apa yang disebut dua qirath itu?”. Nabi menjawab: “Seperti dua gunung yang sangat besar”. (Muttafaq’alaih).

  4. Memuji si mayit (janazah) dengan mengingat dan menyebut kebaikan-kebaikannya dan tidak mencoba untuk menjelek-jelekkannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: ”Janganlah kamu mencaci-maki orang-orang yang telah mati, karena mereka telah sampai kepada apa yang telah mereka perbuat”. (HR. Al-Bukhari).

  5. Memohonkan ampun untuk janazah setelah dikuburkan. Ibnu Umar Radhiyallaahu anhu pernah berkata: “Adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam apabila selesai mengubur janazah, maka berdiri di atasnya dan bersabda:”Mohonkan ampunan untuk saudaramu ini, dan mintakan kepada Allah agar ia diberi keteguhan, karena dia sekarang akan ditanya”. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Albani).

  6. Disunatkan menghibur keluarga yang berduka dan memberikan makanan untuk mereka. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda: “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja`far, karena mereka sedang ditimpa sesuatu yang membuat mereka sibuk”. (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).

  7. Disunnatkan berta`ziah kepada keluarga korban dan menyarankan mereka untuk tetap sabar, dan mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya milik Allahlah apa yang telah Dia ambil dan milik-Nya jualah apa yang Dia berikan; dan segala sesuatu disisi-Nya sudah ditetapkan ajalnya. Maka hendaklah kamu bersabar dan mengharap pahala".

Etika Memberi Nasehat

  1. Hendaknya ikhlas di dalam memberikan nasihat, tidak mengharap apapun di balik nasihatmu selain keridhaan Allah Subhannahu wa Ta'ala dan terlepas dari kewajiban. Dan hendaknya nasihatmu bukan untuk tujuan riya` atau mendapat perhatian orang atau popularitas atau menjatuhkan orang yang diberi nasihat.

  2. Hendaknya nasihat dengan cara yang baik dan tutur kata yang lembut dan mudah hingga dapat berpengaruh kepada orang yang dinasihati dan mau menerimanya. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: “Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik dan debatlah ia dengan cara yang lebih baik”. (An-Nahl: 125).

  3. Hendaknya orang yang dinasihati itu di saat sendirian, karena yang demikian itu lebih mudah ia terima. Karena siapa saja yang menasihati saudaranya di tengah-tengah orang banyak maka berarti ia telah mencemarkannya, dan barangsiapa yang menasihatinya secara sembunyi maka ia telah menghiasinya. Imam Syafi`i –rahimahullah- berkata: “Berilah aku nasihat secara berduaan, dan jauhkan aku dari nasihatmu di tengah orang banyak; karena nasihat di tengah-tengah orang banyak itu mengandung makna celaan yang aku tidak suka mendengarnya”.

  4. Hendaknya pemberi nasihat mengerti betul dengan apa yang ia nasihatkan, dan hendaknya ia berhati-hati dalam menukil pembicaraan agar tidak dipungkiri, dan hendaklah ia memerintah berdasarkan ilmu; karena yang demikian itu lebih mudah untuk diterima nasihatmu.

  5. Hendaknya orang yang memberi nasihat memperhatikan kondisi orang yang akan dinasihatinya. Maka hendaknya tidak menasihatinya di saat ia sedang kalut, atau di saat ia sedang bersama rekan-rekannya atau kerabatnya. Dan hendaklah pemberi nasihat mengetahui perasaan, kedudukan, pekerjaan dan problem yang dihadapi orang yang akan dinasihati itu.

  6. Hendaknya pemberi nasihat menjadi teladan bagi orang yang akan dinasihati, agar jangan tergolong orang yang bisa menyuruh orang lain berbuat kebaikan sedangkan ia lupa terhadap diri sendiri. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman tentang Nabi Syu`aib: “Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang” (Hud: 88).

  7. Hendaknya pemberi nasihat sabar terhadap kemungkinan yang menimpanya. Luqman berkata kepada anaknya: “Wahai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang ma`ruf dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan sabarlah terhadap apa yang menimpamu”. (Luqman: 17). Luqman menyuruh anaknya untuk sabar terhadap kemungkinan yang terjadi karena ia memerintah orang lain mengerjakan kebaikan dan mencegah

Etika dalam Memberi Salam

  1. Makruh memberi salam dengan ucapan: “Alaikumus salam” karena di dalam hadits Jabir Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya ia menuturkan : Aku pernah menjumpai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam maka aku berkata: “Alaikas salam ya Rasulallah”. Nabi menjawab: “Jangan kamu mengatakan: Alaikas salam”. Di dalam riwayat Abu Daud disebutkan: “karena sesungguhnya ucapan “alaikas salam” itu adalah salam untuk orang-orang yang telah mati”. (HR. Abu Daud dan At-Turmudzi, dishahihkan oleh Al-Albani).

  2. Dianjurkan mengucapkan salam tiga kali jika khalayak banyak jumlahnya. Di dalam hadits Anas disebutkan bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila ia mengucapkan suatu kalimat, ia mengulanginya tiga kali. Dan apabila ia datang kepada suatu kaum, ia memberi salam kepada mereka tiga kali. (HR. Al-Bukhari).

  3. Termasuk sunnah adalah orang mengendarai kendaraan memberikan salam kepada orang yang berjalan kaki, dan orang yang berjalan kaki memberi salam kepada orang yang duduk, orang yang sedikit kepada yang banyak, dan orang yang lebih muda kepada yang lebih tua. Demikianlah disebutkan di dalam hadits Abu Hurairah yang muttafaq‘alaih.

  4. Disunnatkan keras ketika memberi salam dan demikian pula menjawabnya, kecuali jika di sekitarnya ada orang-orang yang sedang tidur. Di dalam hadits Miqdad bin Al-Aswad disebutkan di antaranya: “dan kami pun memerah susu (binatang ternak) hingga setiap orang dapat bagian minum dari kami, dan kami sediakan bagian untuk Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam Miqdad berkata: Maka Nabi pun datang di malam hari dan memberikan salam yang tidak membangunkan orang yang sedang tidur, namun dapat didengar oleh orang yang bangun”.(HR. Muslim).

  5. Disunatkan memberikan salam di waktu masuk ke suatu majlis dan ketika akan meninggalkannya. Karena hadits menyebutkan: “Apabila salah seorang kamu sampai di suatu majlis hendaklah memberikan salam. Dan apabila hendak keluar, hendaklah memberikan salam, dan tidaklah yang pertama lebih berhak daripada yang kedua." (HR. Abu Daud dan disahihkan oleh Al-Albani).

  6. Disunnatkan memberi salam di saat masuk ke suatu rumah sekalipun rumah itu kosong, karena Allah telah berfirman yang artinya:

    Dan apabila kamu akan masuk ke suatu rumah, maka ucapkanlah salam atas diri kalian” (An-Nur: 61)

    Dan karena ucapan Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhuma : “Apabila seseorang akan masuk ke suatu rumah yang tidak berpenghuni, maka hendaklah ia mengucapkan : Assalamu `alaina wa `ala `ibadillahis shalihin” (HR. Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad, dan disahihkan oleh Al-Albani).

  7. Dimakruhkan memberi salam kepada orang yang sedang di WC (buang hajat), karena hadits Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhuma yang menyebutkan “Bahwasanya ada seseorang yang lewat sedangkan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam sedang buang air kecil, dan orang itu memberi salam. Maka Nabi tidak menjawabnya”. (HR. Muslim)

  8. Disunnatkan memberi salam kepada anak-anak, karena hadits yang bersumber dari Anas Radhiallaahu 'anhu menyebutkan: Bahwasanya ketika ia lewat di sekitar anak-anak ia memberi salam, dan ia mengatakan: “Demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam”. (Muttafaq’alaih).

  9. Tidak memulai memberikan salam kepada Ahlu Kitab, sebab Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :” Janganlah kalian terlebih dahulu memberi salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani.....” (HR. Muslim). Dan apabila mereka yang memberi salam maka kita jawab dengan mengucapkan “wa `alaikum” saja, karena sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam : “Apabila Ahlu Kitab memberi salam kepada kamu, maka jawablah: wa `alaikum”.(Muttafaq’alaih).

  10. Disunnatkan memberi salam kepada orang yang kamu kenal ataupun yang tidak kamu kenal. Di dalam hadits Abdullah bin Umar Radhiallaahu 'anhu disebutkan bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam : “Islam yang manakah yang paling baik? Jawab Nabi: Engkau memberikan makanan dan memberi salam kepada orang yang telah kamu kenal dan yang belum kamu kenal”. (Muttafaq’alaih).

  11. Disunnatkan menjawab salam orang yang menyampaikan salam lewat orang lain dan kepada yang dititipinya. Pada suatu ketika seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam lalu berkata: Sesungguhnya ayahku menyampaikan salam untukmu. Maka Nabi menjawab : “`alaika wa `ala abikas salam

  12. Dilarang memberi salam dengan isyarat kecuali ada uzur, seperti karena sedang shalat atau bisu atau karena orang yang akan diberi salam itu jauh jaraknya. Di dalam hadits Jabir bin Abdillah Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian memberi salam seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena sesungguhnya pemberian salam mereka memakai isyarat dengan tangan”. (HR. Al-Baihaqi dan dinilai hasan oleh Al-Albani).

  13. Disunnatkan kepada seseorang berjabat tangan dengan saudaranya. Hadits Rasulullah mengatakan: “Tiada dua orang muslim yang saling berjumpa lalu berjabat tangan, melainkan diampuni dosa keduanya sebelum mereka berpisah” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).

  14. Dianjurkan tidak menarik (melepas) tangan kita terlebih dahulu di saat berjabat tangan sebelum orang yang dibattangani itu melepasnya. Hadits yang bersumber dari Anas Radhiallaahu 'anhu menyebutkan: “Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila ia diterima oleh seseorang lalu berjabat tangan, maka Nabi tidak melepas tangannya sebelum orang itu yang melepasnya....” (HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani).

  15. Haram hukumnya membungkukkan tubuh atau sujud ketika memberi penghormatan, karena hadits yang bersumber dari Anas menyebutkan: Ada seorang lelaki berkata: Wahai Rasulullah, kalau salah seorang di antara kami berjumpa dengan temannya, apakah ia harus membungkukkan tubuhnya kepadanya? Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Tidak”. Orang itu bertanya: Apakah ia merangkul dan menciumnya? Jawab nabi: "Tidak". Orang itu bertanya: Apakah ia berjabat tangan dengannya? Jawab Nabi: "Ya, jika ia mau". (HR. At-Turmudzi dan dinilai shahih oleh Al-Albani).

  16. Haram berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam ketika akan dijabat tangani oleh kaum wanita di saat baiat, beliau bersabda: “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum wanita”. (HR.Turmudzi dan Nasai, dan dishahihkan oleh Albani).

Etika Menjenguk Orang Sakit

  • Untuk orang yang berkunjung (menjenguk):
  1. Hendaknya tidak lama di dalam berkunjung, dan mencari waktu yang tepat untuk berkunjung, dan hendaknya tidak menyusahkan si sakit, bahkan berupaya untuk menghibur dan membahagiakannya.

  2. Hendaknya mendekat kepada si sakit dan menanyakan keadaan dan penyakit yang dirasakannya, seperti mengata-kan: “Bagaimana kamu rasakan keadaanmu?”. Sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam .

  3. Mendo`akan semoga cepat sembuh, dibelaskasihi Allah, selamat dan disehatkan. Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu telah meriwayatkan bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam apabila beliau menjenguk orang sakit, ia mengucapkan: “Tidak apa-apa. Sehat (bersih) insya Allah”. (HR. Al-Bukhari). Dan berdo`a tiga kali sebagai-mana dilakukan oleh Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam .

  4. Mengusap si sakit dengan tangan kanannya, dan berdo`a:

    أَذْهِبِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ ، اِشْفِ أَنْتَ الشَّافِي ، لاَ شِفَاءَ إِلاَّ سِفَاؤُكَ ، شِفَاءً لاَ بُغَادِرُ سَقَمًا

    Adzhibilba'sa robban naasi, isyfi antasy-syafi la syifa'a illa syifa'uka, syifa'an la yughadiru saqamaa. “Hilangkanlah kesengsaraan (penyakitnya) wahai Tuhan bagi manusia, sembuhkanlah, Engkau Maha Penyembuh, tiada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit”. (Muttafaq’alaih).

  5. Mengingatkan si sakit untuk bersabar atas taqdir Allah Subhannahu wa Ta'ala dan jangan mengatakan “tidak akan cepat sembuh”, dan hendaknya tidak mengharapkan kematiannya sekalipun penyakitnya sudah kronis.

  6. Hendaknya mentalkinkan kalimat Syahadat bila ajalnya akan tiba, memejamkan kedua matanya dan mendo`akan-nya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda: “Talkinlah orang yang akan meninggal di antara kamu “La ilaha illallah”. (HR. Muslim).
  • Untuk orang yang sakit:
  1. Hendaknya segera bertobat dan bersungguh-sungguh beramal shalih.

  2. Berbaik sangka kepada Allah, dan selalu mengingat bahwa ia sesungguhnya adalah makhluk yang lemah di antara makhluk Allah lainnya, dan bahwa sesungguhnya Allah Subhannahu wa Ta'ala tidak membutuhkan untuk menyiksanya dan tidak mem-butuhkan ketaatannya.

  3. Hendaknya cepat meminta kehalalan atas kezhaliman-kezhaliman yang dilakukan olehnya, dan segera membayar/menunaikan hak-hak dan kewajiban kepada pemiliknya, dan menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.

  4. Memperbanyak zikir kepada Allah, membaca Al-Qur’an dan beristighfar (minta ampun).

  5. Mengharap pahala dari Allah dari musibah (penyakit) yang dideritanya, karena dengan demikian ia pasti diberi pahala. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Apa saja yang menimpa seorang mu’min baik berupa kesedihan, kesusahan, keletihan dan penyakit, hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah meninggikan karenanya satu derajat baginya dan mengampuni kesalahannya karenanya”. (Muttafaq’alaih).

  6. Berserah diri dan tawakkal kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dan berkeyakinan bahwa kesembuhan itu dari Allah, dengan tidak melupakan usaha-usaha syar`i untuk kesembuhannya, seperti berobat dari penyakitnya.

Etika Pengantin Dan Pergaulan Suami Isteri

  1. Merayu istri dan bercanda dengannya di saat santai berduaan. Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam selalu bercanda, tertawa dan merayu istri-istrinya.

  2. Meletakkan tangan di kepala istri dan mendo`akannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: Apabila salah seorang kamu menikahi seorang wanita, maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, dan bacalah bimillah lalu mohon berkahlah kepada Allah, dan hendaknya ia membaca:

    اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيهِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ (رواه أبو داود وحسن إسناده الألباني )

    Allahumma inni as-aluka min khoirihaa, wa khoiro maa jabaltahaa 'alaihi, wa a'udzu bika min syarrihaa, wa syarri maa jabaltahaa 'alaihi. “(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan sifat yang ada padanya; dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukanya dan keburukan sifat yang ada padanya)” (HR. Abu Daud dan dihasankan oleh Al-Albani).

  3. Disunnahkan bagi kedua mempelai melakukan shalat dua raka`at bersama, karena hal tersebut dinukil dari kaum salaf.

  4. Membaca basmalah sebelum melakukan jima`. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Kalau sekiranya seorang di antara kamu hendak bersenggama dengan istrinya membaca :

    ِبسمِ اللهِ اَللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

    Bismillah, Allahumma jannibnasy syaithon, wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa. “(Dengan menyebut nama Alllah, ya Allah, jauhkanlah setan dari kami dan jauhkan syetan dari apa yang Engkau rizkikan kepada kami), maka sesungguhnya jika keduanya dikaruniai anak dari persenggamaannya itu, niscaya ia tidak akan dibahayakan oleh setan selama-lamanya” (Muttafaq alaih).

  5. Jika sang suami ingin bersenggama lagi, maka dianjurkan berwudhu terlebih dahulu, karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila salah seorang kamu telah bersetubuh dengan istrinya, lalu ingin mengulanginya kembali maka hendaklah ia berwudhu”. (HR. Muslim).

  6. Disunatkan bagi kedua suami istri berwudhu sebelum tidur sesudah melakukan jima`, karena hadits Aisyah menuturkan :”Adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam apabila beliau hendak makan atau tidur sedangkan ia junub, maka beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat” (Muttafaq’alaih).

  7. Haram bagi suami menyetubuhi istrinya di saat ia sedang haid atau menyetubuhi duburnya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa yang melakukan persetubuhan terhadap wanita haid atau wanita pada duburnya, atau datang kepada dukun (tukang sihir) lalu membenarkan apa yang dikatakannya, maka sesungguhnya ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad”. (HR. Al-Arba`ah dan dishahihkan oleh Al-Alnbani).

  8. Haram bagi suami-istri menyebarkan tentang rahasia hubungan keduanya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguh-nya manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah orang lelaki yang berhubungan dengan istrinya (jima`), kemudian ia menyebarkan rahasianya”. (HR. Muslim).

  9. Hendaknya masing-masing saling bergaul dengan baik, dan melaksanakan kewajiban masing-masing terhadap yang lain. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: “Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut yang ma`ruf”. (Al-Baqarah: 228).

  10. Hendaknya suami berlaku lembut dan bersikap baik terhadap istrinya dan mengajarkan sesuatu yang dipan-dang perlu tentang masalah agamanya, serta menekankan apa-apa yang diwajib Allah terhadapnya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda: “Ingatlah, berpesan baiklah selalu kepada istri, karena sesungguhnya mereka adalah tawanan disisi kalian....” (HR. Turmudzi dan dishahihkan oleh Al-Albani).

  11. Hendaknya istri selalu ta`at kepada suaminya sesuai kemampuannya asal bukan dalam hal kemaksiatan, dan hendaknya tidak mematuhi siapapun dari keluarganya bila tidak disukai oleh suami dan bertentangan dengan kehendaknya, dan hendaknya istri tidak menolak ajakan suami bila mengajaknya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidutrnya lalu ia tidak memenuhi ajakannya, lalu sang suami tidur dalam keadaan marah kepadanya, maka malaikat melaknat wanita tersebut hingga pagi”. (Muttafaq alaih).

  12. Hendaknya suami berlaku adil terhadap istri-istrinya di dalam masalah-masalah yang harus bertindak adil. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa mempunyai dua istri, lalu ia lebih cenderung kepada salah satunya, niscaya ia datang di hari Kiamat kelak dalam keadaan sebelah badannya miring”. (HR. Abu Daud)

Etika Safar (Bepergian Jauh)

  1. Disunnatkan bagi orang yang berniat untuk melakukan perjalan jauh (safar) beristikharah terlebih dahulu kepada Allah mengenai rencana safarnya itu, dengan sholat dua raka`at di luar shalat wajib, lalu berdo`a dengan do`a istikharah.

  2. Hendaknya bertobat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dari segala kemaksiatan yang pernah ia lakukan dan meminta ampun kepada-Nya dari segala dosa yang telah diperbuatnya, sebab ia tidak tahu apa yang akan terjadi di balik kepergiannya itu.

  3. Hendaknya ia mengembalikan barang-barang yang bukan haknya dan amanat-amanat kepada orang-orang yang berhak menerimanya, membayar hutang atau menyerahkannya kepada orang yang akan melunasinya dan berpesan kebaikan kepada keluarganya.

  4. Membawa perbekalan secukupnya, seperti air, makanan dan uang.

  5. Disunnatkan bagi musafir pergi dengan ditemani oleh teman yang shalih selama perjalanannya untuk meringankan beban diperjalananya dan menolongnya bila perlu. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda: “Kalau sekiranya manusia mengetahui apa yang aku ketahui di dalam kesendirian, niscaya tidak ada orang yang menunggangi kendaraan (musafir) yang berangkat di malam hari sendirian”. (HR. Al-Bukhari)

  6. Disunnatkan bagi para musafir apabila jumlah mereka lebih dari tiga orang mengangkat salah satu dari mereka sebagai pemimpin (amir), karena hal tersebut dapat mempermudah pengaturan urusan mereka. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Apabila tiga orang keluar untuk safar, maka hendaklah mereka mengangkat seorang amir dari mereka”. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).

  7. Disunnatkan berangkat safar pada pagi (dini) hari dan sore hari, karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Ya Allah, berkahilah bagi ummatku di dalam kediniannya”. Dan juga bersabda: “Hendaknya kalian memanfaatkan waktu senja, karena bumi dilipat di malam hari”. (Keduanya diriwayat-kan oleh Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).

  8. Disunatkan bagi musafir apabila akan berangkat mengu-capkan selamat tinggal kepada keluarga, kerabat dan teman-temannya, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan dia sabdakan: “Aku titipkan kepada Allah agamamu, amanatmu dan penutup-penutup amal perbuatanmu”. (HR. At-Turmudzi, dishahihkan oleh Al-Albani).

  9. Apabila si musafir akan naik kendaraannya, baik berupa mobil atau lainnya, maka hendaklah ia membaca basmalah; dan apabila telah berada di atas kendaraannya hendaklah ia bertakbir tiga kali, kemudian membaca do`a safar berikut ini:

    سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ ، وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ ، اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا البِرَّ وَالتَّقْوَى ، وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى ، اَللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ ، اَللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيْفَةُ فِي اْلأَهْلِ ، اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ وَعَثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ اْلمَنْظَرِ ، وَسُوْءِ الْمُنْقَلَبِ فِي اْلمَالِ وَالأَهْلِ (رواه مسلم )

    Subhaanal ladzi sakhkhara lanaa haadzaa wamaa kunnaa lahu muqrinina wa innaa ilaa rabbinaa lamunqalibuuna. “Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami; Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepadamu di dalam perjalanan kami ini kebajikan dan ketaqwaan, dan amal yang Engkau ridhai; Ya Allah, mudahkanlah perjalannan ini bagi kami dan dekatkanlah kejauhannya; Ya Allah, Engkau adalah Penyerta kami di dalam perjalanan ini dan Pengganti kami di keluarga kami; Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari bencana safar dan kesedihan pemandangan, dan keburukan tempat kembali pada harta dan keluarga”. (HR. Muslim).

  10. Disunnatkan bertakbir di saat jalan menanjak dan bertasbih di saat menurun, karena ada hadits Jabir yang menuturkan: “Apabila (jalan) kami menanjak, maka kami bertakbir, dan apabila menurun maka kami bertasbih”. (HR. Al-Bukhari).

  11. Disunnatkan bagi musafir selalu berdo`a di saat perjalanannya, karena do`anya mustajab (mudah dikabulkan).

  12. Apabila si musafir perlu untuk bermalam atau beristirahat di tengah perjalanannya, maka hendaknya menjauh dari jalan; karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Apabila kamu hendak mampir untuk beristirahat, maka menjauhlah dari jalan, karena jalan itu adalah jalan binatang melata dan tempat tidur bagi binatang-binatang di malam hari”. (HR. Muslim).

  13. Apabila musafir telah sampai tujuan dan menunaikan keperluannya dari safar yang ia lakukan, maka hendaknya segera kembali ke kampung halamannya. Di dalam hadits Abu Hurairah Radhiallaahu anhu disebutkan diantaranya: “......Apabila salah seorang kamu telah menunaikan hajatnya dari safar yang dilakukannya, maka hendaklah ia segera kembali ke kampung halamannya”. (Muttafaq’ alaih).

  14. Disunnatkan pula bagi si musafir apabila ia kembali ke kampung halamannya untuk tidak masuk ke rumahnya di malam hari, kecuali jika sebelumnya diberi tahu terlebih dahulu. Hadits Jabir menuturkan :”Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam melarang seseorang mengetuk rumah (membangunkan) keluarganya di malam hari”. (Muttafaq’alaih).

  15. Disunnatkan bagi musafir di saat kedatangannya pergi ke masjid terlebih dahulu untuk shalat dua rakaat. Ka`ab bin Malik meriwayatkan: “Bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam apabila datang dari perjalanan (safar), maka ia langsung menuju masjid dan di situ ia shalat dua raka`at”. (Muttafaq’ alaih).

Etika Saat berdo'a

  1. Terlebih dahulu sebelum berdo`a hendaknya memuji kepada Allah kemudian bershalawat kepada Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam pernah mendengar seorang lelaki sedang berdo`a di dalam shalatnya, namun ia tidak memuji kepada Allah dan tidak bershalawat kepada Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam maka Nabi bersabda kepadanya: “Kamu telah tergesa-gesa wahai orang yang sedang shalat. Apabila anda selesai shalat, lalu kamu duduk, maka memujilah kepada Allah dengan pujian yang layak bagi-Nya, dan bershalawatlah kepadaku, kemudian berdo`alah”. (HR. At-Turmudzi, dan dishahihkan oleh Al-Albani).

  2. Mengakui dosa-dosa, mengakui kekurangan (keteledoran diri) dan merendahkan diri, khusyu’, penuh harapan dan rasa takut kepada Allah di saat anda berdo`a. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera di dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo`a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu` kepada Kami”. (Al-Anbiya’: 90).

  3. Berwudhu’ sebelum berdo`a, menghadap Kiblat dan mengangkat kedua tangan di saat berdo`a. Di dalam hadits Abu Musa Al-Asy`ari Radhiallaahu anhu disebutkan bahwa setelah Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam selesai melakukan perang Hunain :” Beliau minta air lalu berwudhu, kemudian mengangkat kedua tangannya; dan aku melihat putih kulit ketiak beliau”. (Muttafaq’alaih).

  4. Benar-benar (meminta sangat) di dalam berdo`a dan berbulat tekad di dalam memohon. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Apabila kamu berdo`a kepada Allah, maka bersungguh-sungguhlah di dalam berdo`a, dan jangan ada seorang kamu yang mengatakan :Jika Engkau menghendaki, maka berilah aku”, karena sesungguhnya Allah itu tidak ada yang dapat memaksanya”. Dan di dalam satu riwayat disebutkan: “Akan tetapi hendaknya ia bersungguh-sungguh dalam memohon dan membesarkan harapan, karena sesungguhnya Allah tidak merasa berat karena sesuatu yang Dia berikan”. (Muttafaq’alaih).

  5. Menghindari do`a buruk terhadap diri sendiri, anak dan harta. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Jangan sekali-kali kamu mendo`akan buruk terhadap diri kamu dan juga terhadap anak-anak kamu dan pula terhadap harta kamu, karena khawatir do`a kamu bertepatan dengan waktu dimana Allah mengabulkan do`amu”. (HR. Muslim).

  6. Merendahkan suara di saat berdo`a. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Wahai sekalian manusia, kasihanilah diri kamu, karena sesungguhnya kamu tidak berdo`a kepada yang tuli dan tidak pula ghaib, sesungguhnya kamu berdo`a (memohon) kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat dan Dia selalu menyertai kamu”. (HR. Al-Bukhari).

  7. Berkonsentrasi (penuh perhatian) di saat berdo`a. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Berdo`alah kamu kepada Allah sedangkan kamu dalam keadaan yakin dikabulkan, dan ketahuilah bahwa sesung-guhnya Allah tidak mengabulkan do`a dari hati yang lalai”. (HR. At-Turmudzi dan dihasankan oleh Al-Albani).

    Tidak memaksa bersajak di dalam berdo`a. Ibnu Abbas pernah berkata kepada `Ikrimah: “Lihatlah sajak dari do`amu, lalu hindarilah ia, karena sesungguhnya aku memperhatikan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan para shahabatnya tidak melakukan hal tersebut”.(HR. Al-Bukhari).

Etika Saat tidur dan Bangun tidur

  1. Berintrospeksi diri / muhasabah sesaat sebelum tidur. Sangat dianjurkan sekali bagi setiap muslim bermuhasabah (berintrospeksi diri) sesaat sebelum tidur, mengevaluasi segala perbuatan yang telah ia lakukan di siang hari. Lalu jika ia dapatkan perbuatannya baik maka hendaknya memuji kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dan jika sebaliknya maka hendaknya segera memohon ampunan-Nya, kembali dan bertobat kepada-Nya.

  2. Tidur dini, berdasarkan hadits yang bersumber dari `Aisyah Radhiallaahu anha “Bahwasanya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam tidur pada awal malam dan bangun pada pengujung malam, lalu beliau melakukan shalat”.(Muttafaq `alaih)

  3. Disunnatkan berwudhu’ sebelum tidur, dan berbaring miring sebelah kanan. Al-Bara’ bin `Azib Radhiallaahu anhu menuturkan : Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Apabila kamu akan tidur, maka berwudlu’lah sebagaimana wudlu’ untuk shalat, kemudian berbaringlah dengan miring ke sebelah kanan...” Dan tidak mengapa berbalik kesebelah kiri nantinya.

  4. Disunnatkan pula mengibaskan sperei tiga kali sebelum berbaring, berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiallaahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Apabila seorang dari kamu akan tidur pada tempat tidurnya, maka hendaklah mengirapkan kainnya pada tempat tidurnya itu terlebih dahulu, karena ia tidak tahu apa yang ada di atasnya...” Di dalam satu riwayat dikatakan:”tiga kali”. (Muttafaq `alaih).

  5. Makruh tidur tengkurap. Abu Dzar Radhiallaahu anhu menuturkan :”Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam pernah lewat melintasi aku, dikala itu aku sedang berbaring tengkurap. Maka Nabi membangunkanku dengan kakinya sambil bersabda :”Wahai Junaidab (panggilan Abu Dzar), sesungguhnya berbaring seperti ini (tengkurap) adalah cara berbaringnya penghuni neraka"”. (H.R. Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al-Albani).

  6. Makruh tidur di atas dak terbuka, karena di dalam hadits yang bersumber dari `Ali bin Syaiban disebutkan bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda: “Barangsiapa yang tidur malam di atas atap rumah yang tidak ada penutupnya, maka hilanglah jaminan darinya”. (HR. Al-Bukhari di dalam al-Adab al-Mufrad, dan dinilai shahih oleh Al-Albani).

  7. Menutup pintu, jendela dan memadamkan api dan lampu sebelum tidur. Dari Jabir Radhiallaahu anhu diriwayatkan bahwa sesung-guhnya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda: “Padamkanlah lampu di malam hari apa bila kamu akan tidur, tutuplah pintu, tutuplah rapat-rapat bejana-bejana dan tutuplah makanan dan minuman”. (Muttafaq’alaih).

  8. Membaca ayat Kursi, dua ayat terakhir dari Surah Al-Baqarah, Surah Al-Ikhlas dan Al-Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas), karena banyak hadits-hadits shahih yang menganjurkan hal tersebut.

  9. Membaca do`a-do`a dan dzikir yang keterangannya shahih dari Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam , seperti :

    اللَّهُمَّ قِنِي عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ عِبَادَكَ (رواه أبو داود وصححه الألباني ) ،

    Allahumma qinii 'adzabaka yauma tab'atsu 'ibadaka. “Ya Allah, peliharalah aku dari adzab-Mu pada hari Engkau membangkitkan kembali segenap hamba-hamba-Mu”. Dibaca tiga kali.(HR. Abu Dawud dan di hasankan oleh Al Albani)

    Dan membaca:

    بِاسْمِكَ اَللَّهُمَّ أَمُوْتُ وَأَحْيَا (رواه البخاري )

    Bismika Allahumma amuutu wa ahyaa. “Dengan menyebut nama-Mu ya Allah, aku mati dan aku hidup.” (HR. Al Bukhari)

  10. Apabila di saat tidur merasa kaget atau gelisah atau merasa ketakutan, maka disunnatkan (dianjurkan) berdo`a dengan do`a berikut ini :

    أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ ، وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّياَطِيْنِ وَأَنْ يَحْضُرُوْنِ (رواه أبو داود وحسنه الألباني )

    'Audzu bikalimaatillahit taammati, min ghodhobihi, wasyarri 'ibaadihi, wamin hamadzaatisy syayathiini wa an yah dluruuni. "Aku berlindung dengan Kalimatullah yang sempurna dari murka-Nya, kejahatan hamba-hamba-Nya, dari gangguan syetan dan kehadiran mereka kepadaku”. (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Al Albani)

  11. Hendaknya apabila bangun tidur membaca :

    اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُوْرُ (رواه البخاري )

    "Alhamdulillaahilladzii ahyaana ba'da maa amaatanaa, wa ilaihin nusyuur". “Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah kami dimatikan-Nya, dan kepada-Nya lah kami dikembalikan.” (HR. Al-Bukhari)

Etika Saat Makan Dan Minum

  1. Berupaya untuk mencari makanan yang halal. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu”. (Al-Baqarah: 172). Yang baik disini artinya adalah yang halal.

  2. Hendaklah makan dan minum yang kamu lakukan diniatkan agar bisa dapat beribadah kepada Allah, agar kamu mendapat pahala dari makan dan minummu itu.

  3. Hendaknya mencuci tangan sebelum makan jika tangan kamu kotor, dan begitu juga setelah makan untuk menghilangkan bekas makanan yang ada di tanganmu.

  4. Hendaklah kamu puas dan rela dengan makanan dan minuman yang ada, dan jangan sekali-kali mencelanya. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu di dalam haditsnya menuturkan: “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam sama sekali tidak pernah mencela makanan. Apabila suka sesuatu ia makan dan jika tidak, maka ia tinggalkan”. (Muttafaq’alaih).

  5. Hendaknya jangan makan sambil bersandar atau dalam keadaan menyungkur. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda; “Aku tidak makan sedangkan aku menyandar”. (HR. al-Bukhari). Dan di dalam haditsnya, Ibnu Umar Radhiallaahu anhu menuturkan: “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah melarang dua tempat makan, yaitu duduk di meja tempat minum khamar dan makan sambil menyungkur”. (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Al-Albani).

  6. Tidak makan dan minum dengan menggunakan bejana terbuat dari emas dan perak. Di dalam hadits Hudzaifah Radhiallaahu anhu dinyatakan di antaranya bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda: “... dan janganlah kamu minum dengan menggunakan bejana terbuat dari emas dan perak, dan jangan pula kamu makan dengan piring yang terbuat darinya, karena keduanya untuk mereka (orang kafir) di dunia dan untuk kita di akhirat kelak”. (Muttafaq’alaih).

  7. Hendaknya memulai makanan dan minuman dengan membaca Bismillah dan diakhiri dengan Alhamdulillah. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Apabila seorang diantara kamu makan, hendaklah menyebut nama Allah Subhannahu wa Ta'ala dan jika lupa menyebut nama Allah Subhannahu wa Ta'ala pada awalnya maka hendaknya mengatakan : Bismillahi awwalihi wa akhirihi”. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani). Adapun meng-akhirinya dengan Hamdalah, karena Rasulullah Subhannahu wa Ta'ala bersabda: “Sesungguhnya Allah sangat meridhai seorang hamba yang apabila telah makan suatu makanan ia memuji-Nya dan apabila minum minuman ia pun memuji-Nya”. (HR. Muslim).

  8. Hendaknya makan dengan tangan kanan dan dimulai dari yang ada di depanmu. Rasulllah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda Kepada Umar bin Salamah: “Wahai anak, sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah apa yang di depanmu. "(Muttafaq’alaih).

  9. Disunnatkan makan dengan tiga jari dan menjilati jari-jari itu sesudahnya. Diriwayatkan dari Ka`ab bin Malik dari ayahnya, ia menuturkan: “Adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam makan dengan tiga jari dan ia menjilatinya sebelum mengelapnya.” (HR. Muslim).

  10. Disunnatkan mengambil makanan yang terjatuh dan membuang bagian yang kotor darinya lalu memakannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Apabila suapan makan seorang kamu jatuh hendaklah ia mengambilnya dan membuang bagian yang kotor, lalu makanlah ia dan jangan membiarkannya untuk syetan.” (HR. Muslim).

  11. Tidak meniup makan yang masih panas atau bernafas di saat minum. Hadits Ibnu Abbas menuturkan “Bahwa-sanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam melarang bernafas pada bejana minuman atau meniupnya.” (HR. At-Turmudzi dan dishahihkan oleh Al-Albani).

  12. Tidak berlebih-lebihan di dalam makan dan minum. Karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Tiada tempat yang yang lebih buruk yang dipenuhi oleh seseorang daripada perutnya, cukuplah bagi seseorang beberapa suap saja untuk menegakkan tulang punggungnya; jikapun terpaksa, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minu-mannya dan sepertiga lagi untuk bernafas”. (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani).

  13. Hendaknya pemilik makanan (tuan rumah) tidak melihat ke muka orang-orang yang sedang makan, namun seharusnya ia menundukkan pandangan matanya, karena hal tersebut dapat menyakiti perasaan mereka dan membuat mereka menjadi malu.

  14. Hendaknya kamu tidak memulai makan atau minum sedangkan di dalam majlis ada orang yang lebih berhak memulai, baik kerena ia lebih tua atau mempunyai kedudukan, karena hal tersebut bertentangan dengan etika.

  15. Jangan sekali-kali kamu melakukan perbuatan yang orang lain bisa merasa jijik, seperti mengirapkan tangan di bejana, atau kamu mendekatkan kepalamu kepada tempat makanan di saat makan, atau berbicara dengan nada-nada yang mengandung makna kotor dan menjijik-kan.

  16. Jangan minum langsung dari bibir bejana, berdasarkan hadits Ibnu Abbas beliau berkata, “Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam melarang minum dari bibir bejana wadah air.” (HR. Al Bukhari)
Disunnatkan minum sambil duduk, kecuali jika udzur, karena di dalam hadits Anas disebutkan “Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam melarang minum sambil berdiri”. (HR. Muslim).

Wara' Di Era Modern

Sehari-hari kita kita digerakkan oleh hasrat meraih sesuatu yang muncul dari keinginan dan cita-cita. Keinginan yang seringkali melebihi batas-batas kewajaran, kesederhanaan yang proporsional. Pada saat yang sama kita sebenarnya telah melampaui batas "manusiawi kehambaan" kita kepada Allah. Berarti kita tidak memiliki sikap Wira'i atau Wara'.

Kita sedang bekerja keras dengan ambisi kita untuk meraih kekayaan dan fasilitas yang lengkap. Tetapi ketika ukuran kekayaan itu telah melebihi proporsi yang kita butuhkan sehari-hari, kita telah terlempar dari kewara'an itu sendiri. Wara' dalam bekerja, adalah sikap wajar menjalankan tugas kehidupan secara syar'i, sedangkan jiwa dan nurani kita tidak terkotori oleh pengaruh keindahan dunia dann keramaian di sisi kita. Seorang yang memiliki Wara', ia selalu menjaga agar tidak berlebihan, baik dalam ucapan, tindakan, hasrat dan keinginan.

Rasulullah saw, menggambarkan Kewara'an itu melalui haditsnya yang terkenal, "Salah satu tanda baiknya ke-Islaman seseorang, apabila orang itu meninggalkan hal-hakl yang tidak perlu."

Beliau juga melanjuutkan, "Jadilah dirimu orang yang Wara', maka anda akan benar-benar menjadi ahli ibadah." (hr. Ibnu Majah)

Banyak orang merasa mendapat peluang yang halal, kemudian ia raup peluang itu tanpa menghiraukan lingkungan sosial, apalagi menghiraukan kecemburuan hati nuraninya yang dicampakkan oleh pesona duniawiyah. Hati kita, ruh kita, sirr kita teramat cemburu ketika kita mulai berpaling kepada iming-iming dunia, walau pun itu halal. Kenapa demikian? Tidak semua yang halal yang ada di depan kita itu ketika menjadi milik kita dinilai sebagai sesuatu yang berkah.

Sebab ketika seseorang meliarkan matahatinya pada pemberian Ilahi, yang membuat dirinya justru lupa kepadaNya, pada saat yang sama keberkahan dibalik anugerah itu seperti tercerabut dari akar rizki itu. Kenapa? Karena tiba-tiba ia menjadi manusia kikir, bakhil, pelit, dan egoistis, lalu sombong. Lalu ia lupa diri.

Wara', sesungguhnya memiliki makna kehati-hatian. Hati-hati terhadap hal-hal yang halal, apalagi terhadap hal-hal yang haram. Karena itu dalam proses tahapan ruhani, Wara' disebut sebagai awal dari tindakan Zuhud, atau tindakan mencampakkan pesona duniawi dari jiwa hamba Allah Ta'ala.

Apakah manusia modern bisa bebas dari syubhat, baik secara syar'y maupun hakiki? Bisa dan mudah. Bahkan saking mudahnya Sufyan ats-Tsaury meegaskan, "Saya tidak melihat yang lebih mudah ketimbang Wara'. Jadi apa yang mengganjak dalam dirimu, tinggalkan saja!".

Banyak simpang siur mulai dari soal syariat hingga soal hakikat mengenai sikap hati-hati kita menghadapi kemodernan. Soal-soal yang berkaitan dengan syariat bisa dilihat lebih luwes, tidak radikal dan tidak keras, tanpa mengurangi sikap hati-hati kita. Tetapi soal hakikat, soal kejiwaan dan keruhanian kita, apakah kita hidup di abad modern atau di abad nomaden, abad batu, abad debu, kapasitas psikhologi manusia tetap sama.

Justru banyak orang yang larut dalam lumpur modernisme ketika Wara' diabaikan. Modernisme sebagai sesuatu instrument untuk kemajuan manusia, memiliki nilai positip, darimana pun datangnya. Tetapi sikap psikhologi kita menghadapi norma kebebasan yang yang liar telah menumbuhkan ambisi nafsu baru untuk menjadi budak modernitas. Ujungnya adalah kekuasaan, fasilitas, materi, dan eksotisme. Dann itulah penderitaan dan penyakit paling mengerikan.

Mestinya manusia modern memiliki ketegasan dan kesahajaan. Ketegasan terhadap hal-hal yang meragukan dan skeptis. Ketegasan terhadap larangan Allah. Ketegasan terhadap hal-hal yang menggalaukan jiwa kita. "Tinggalkan hal-hal yang meragukan, menuju hal yang pasti." Demikian sabda Nabi SAW.

Karena itu Wara' sesungguhnya menjadi benteng manusia modern. Karena dengan Wara' manusia modern akan memiliki kekuatan jiwa yang luar biasa, antara lain:


Wara' menumbuhkan kesatriaan, kejujuran, kesahajaan, kesederhanaan, dan sikap sosial yang positip.

Wara' menjauhkan sikap berlebihan, egoisme, kesombongan, dan ambisi materi.

Wara' mendorong manusia untuk menjadi hamba yang merdeka dari kepentingan-kepentingan selain Allah, karena hakikat Wara' adalah sikap waspada terhadap segala hal selain Allah.

Wara' menghantar kita untuk tulus dan ikhlas dalam beramal hanya untuk Allah. Karena tanpa wara', ubudiyah kita akan terseret pada hal-hal yang menyimpang, dan jauh dari keikhlasan.

Wara' menghilangkan sikap kepura-puraan kita, basa basi kita, penipuan-penipuan kita, kemunafikan kita, kefasikan kita, dan membebaskan diri kita dari penjara nafsu kita.

Wara' adalah awal dari ketaqwaan kita.

Wara' akan menghantar kita terus menerus memandang Allah dalam setiap hal-hal yang halal. Karena itulah Wara' akan mendorong kita untuk terus bersyukur, sebab dibalik yang kita pandang, ada Nama Allah di sana.

Wara' adalah nuansa majlis Ilahi. Karenanya Abu Hurairah mengatakan, "Orang-orang yang berada di majlis Allah kelak, adalah ahli wara' dan Zuhud."

Wara' membuat manusia tidak dzalim, karena ia senantiasa berbuat adil, proporsional, dan wajar.

Wara' menjauhkan kita dari KKN.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah pemimpin dan presiden yang Wara', karena itu ia tidak mau menyalakan lampu milik Negara, ketika seorang berbicara dengannya di luar urusan Negara.

Fenomena Wara' di abad ini, ibarat benda di tengah keterasingan gurun yang gersang. Benda aneh, karena manusia modern justru nestapa dengan kemodernannya, hanya karena manjauhi kewara'an sehari-hari. Lalu individu-individunya mengabaikan moralitas, keluarganya berantakan, tatanan sosialnya hancur, hokum direkayasa, keadilan dirobohkan, kekuasaan dijadikan berhala. Itulah kewara'an yang terlempar di kesunyian manusia modern.

Coba kita tengok di jendela luar sana. Tragedi manusia modern itu:

Mereka mulai terasing dengan Allah, dan merasa tersentak ketika nama Allah disebut, bahkan sampai pada titik sinis, ketika Nama Allah diungkapkan.

Mereka berselingkuh dengan hasrat-hasrat duniawi, lalu mengabaikan Allah, kemudian melupakan Allah sama sekali.

Mereka memburu fatamorgana, walau pun berkali-kali mereka menderita karena angan dan imajinasinya, toh tetap saja mereka ulangi tindakannya itu.

Mereka diseret oleh kegilaan-kegilaan atasnama kebebasan dan kepuasan, sebagai wujud eksistensi yang dibanggakan.

Mereka terjebak oleh sebuah permaian, game, dan perjudian pasar bebas, sampai tingkat politik paling mengerikan:membunuh sesama, menghisap darah sesama, dan mengekploitasi sumber alam secara membabi buta.

Allah dijadikan sebagai lambang bendera, kadang dikibarkan seperti upacara bendera, lalu diturunkan, untuk sekadar basa-basi religius.

Manusia modern telah kehilangan harga dirinya paling mahal: Fitrahnya sebagai manusia, hamba Allah.

Kewara'an telah sirna dari mereka, karena sikap wira'I dianggap sebagai ancaman dari kebebasan.

sumber : http://www.sufinews.com

Silaturahmi

Maasyiral muslimin rahimakumullah!
Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An-Nisaa’:1)

Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia bersilaturahmi.

Maasyiral muslimin rahimakumullah!
Ayat dan hadis diatas menganjurkan kepada kita untuk melakukan silaturahmi. Silaturahmi secara bahasa berasal dari dua kata silatun yang berarti menyambung dan rahmi yang berarti rahim. Rahim adalah tempat tumbuh anak dalam perut seorang ibu. Allah SWT berfirman yang artinya, “Allah mengetahui apa saya yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.” (Ar-Ra’d: 8)

Kata rahmi ini kemudian mengandung kepada dua pengertian. Pertama, kerabat secara umum, yaitu orang-orang yang ada nasab degan kita. Kedua, kerabat yang mahram, yaitu para kerabat yang diharamkan bagi kita untuk mengadakan pernikahan dengannya.

Dengan demikian sillaturrahmi adalah menyambung hubungan kerabat, baik yang mahram maupun yang bukan mahram.

Maasyiral muslimin rahimakumullah!
Silaturahmi adalah amalan yang pahalanya besar di sisi Allah. Allah swt juga menjanjikan keluasan rizqi dan keberkahan umur bagi mereka yang melakukan silaturahmi. Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Barang siapa yang suka diluaskan rizqinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia melakukan silaturahmi.

Disamping itu, silaturahmi juga merupakan buah dari iman, sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia melakukan silaturahmi.

Maasyiral muslimin rahimakumullah!
Silaturahmi hendaknya juga kita lakukan terhadap orang-orang yang telah memutuskan hubungannya dengan kita. Seseorang datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Ya Rasulullah, saya mempunyai kerabat, saya menyambungnya padahal mereka telah memutuskanku, saya berbuat baik kepadanya padahal mereka telah berbuat buruk kepadaku dan saya bersabar (bermurah hati) kepadanya padahal mereka telah membodohiku? Rasulullah saw. bersabda, “Jika kamu sebagaimana yang kamu katakan, maka seakan-akan engkau telah menempelkan abu panas kepada mereka dan kemenangan dari Allah atas mereka akan masih bersamamu selama engkau dalam keadaan seperti itu.

Maasyiral muslimin rahimakumullah!
Islam melarang kita memutuskan silaturahmi ini. Karena memutuskan silaturahmi termasuk dosa besar. Bagi mereka yang melakukannya akan terhalang masuk surga. Rasulullah saw. bersabda yang artinya, "Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan ikatan rahim.” (HR Bukhori Muslim)

Barang siapa memutuskan hubungan dengan kerabat yang lemah, mengisolasi mereka, bersikap takabur kepadanya dan tidak berbuat baik kepada mereka, padahal ia kaya sedangkan mereka fakir, maka ia termasuk katagori yang diancam dengan hadis di atas, terhalang masuk surga kecuali jika bertaubat kepada Allah lalu berbuat baik kepada mereka.

Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Barang siapa mempunyai kerabat yang lemah lalu tidak berbuat baik dan mengalokasikan sedekahnya kepada selain merkea, niscaya Allah tidak akan menerima sedekahnya dan tidak akan memandangnya pada hari kiamat. Barang siapa dalam keadaan fakir, hendaklah menyambung (ikatan rahim) dengan mengunjungi mereka dan selalu menanyakan kabar mereka.

Dalam hadis yang lain Nabi saw. bersabda yang artinya, “Sambunglah ikatan rahim kalian walaupun hanya dengan ucapan salam.

Orang yang menyambung itu bukanlah mukafi (orang yang melakukanya jika kerabatnya terlebih dahulu melakukan hal itu kepadanya), akan tetapi orang yang menyambung adalah orang yang jika kamu memutuskan hubungan darinya ia menyambungnya. “ (HR Bukhari)

Dalam sebuah hadits qudsi Allah SWT berfirman yang artinya, "Aku adalah ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) dan dia adalah ikatan rahim. Barang siapa yang menyambungnya, Aku pun menyambung hubungan dengannya. Dan barang siapa yang memutuskannya, Aku pun memutuskan hubungan darinya." (HR Ahmad dan Tirmidzi)

Semoga Allah Ta'ala menjadikan kita orang-orang yang senantiasa melakukan silaturahmi. Amin. Wallaahu a'lam bish showaab